Di Balik Frekuensi, Jurnalis Diancam dan Dikebiri di Ruang Redaksi


Di Balik Frekuensi. Film di balik frekuensi berdurasi 144 menit, yang baru diputar perdana pada 24 Januari 2013 lalu ini mengisahkan Luviana, seorang jurnalis Metro TV, yang diberhentikan karena mengkritik ruang redaksi Metro TV dan ingin mendirikan serikat pekerja, serta Hari Suwandi dan Harto Wiyono, warga Sidoarjo yang berjalan kaki Sidoarjo-Jakarta, untuk mencari keadilan bagi warga korban lumpur Lapindo, yang ganti ruginya belum juga dibayarkan oleh perusahaan yang juga dimiliki oleh pemilik TV One dan ANTV, Aburizal Bakrie
Film dokumenter berjudul di balik frekuensi menarik perhatian publik Malang. Sekitar 600 orang menonton Film di balik frekuensi yang diputar di theatre UMM Dome, Senin 25 Maret 2013. Usai pemutaran film dilanjutkan diskusi bersama narasumber sutradara Ucu Agustin, pengamat media dari Universitas Muhammadiyah Malang Frida Kusumastuti dan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur Maulana Arif.
Para penonton berasal dari kalangan mahasiswa, pelajar, praktisi media, lembaga swadaya masyarakat dan akademisi. “Film diputar dalam dua sesi,” kata koordinator komunitas pecinta film Lensa Mata. Pemutaran film ini hasil kerjasama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Lensa Mata dan Universitas Muhammadiyah Malang.
Berbagai kesan disampaikan para penonton usai mengikuti pemutaran film, mereka mengaku mendapat inspirasi, dan wawasan mengenai apa yang terjadi di ruang redaksi sebelum berita disiarkan.
Mereka tetap bertahan di tempat duduk mengikuti pemutaran film yang berdurasi 144 menit hingga akhir. Bahkan, mereka juga antusias dalam sesi diskusi umpan balik dari para penonton.
- Baca Juga: Serikat Pekerja Media, Kekerasan Simbolik, dan Prospek Masa Depan
- Baca Juga: Indonesia Lawyers Club: Kolonisasi Logika Televisi dalam Logika Politik
“Setelah menonton film Di Balik Frekuensi ini, masyarakat menjadi bingung. Dengan banyak informasi yang beredar, mana yang benar,” tanya mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang, Fahrrurozi. Bahkan ia khawatir jika film Di Balik Frekuensi ini akan dimanfaatkan politisi untuk menyerang salah satu calon presiden. Maklum film ini menyoroti konglomerasi media yang dimiliki Ketua Partai Nasional Demokrat Surya Paloh dan Ketua Partai Golkar Abu Rizal Bakrie.
“Film Di Balik Frekuensi ini bisa menjadi alat untuk menyerang keduanya,” kata Fahrurozi. Mengenai persoalan ini, sutradara Ucu Agustin mengaku tak ada niatan menyerang salah satu tokoh politik tersebut. Film Di Balik Frekuensi diangkat berdasarkan cerita yang dialami kedua tokoh yakni jurnalis Metro TV Luviana yang dipecat karena memperjuangkan kesejahteraan dan korban lumpur Lapindo Hari Suwandi.
“Sejarah panjang media di Indonesia, ini menjadi film dokumenter pertama soal media,” katanya. Pengamat media UMM Frida Kusumastuti menilai film Di Balik Frekuensi yang diangkat Ucu telah berpihak kepada masyarakat dan jurnalis. Agar frekuensi milik negara yang digunakan siaran televisi dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk rakyat.
“Praktik saat ini, pemilik media bisa menyiarkan berita sesuai keinginannya. Sama dengan jaman TVRI yang menjadi corong pemerintah jaman orde baru,” katanya. Untuk itu, ia masyarakat harus melakukan gerakan untuk melawan dominasi pemodal. Tujuannya, untuk membantu jurnalis menegakkan profesi sehingga tayangan dan berita yang disiarkan adalah tayangan yang sehat.
Sementara Koordiantor Isi Siaran KPID Jawa Timur Maulana Arif menilai film dokumenter Di Balik Frekuensi karya Ucu Agustin layak diputar di gedung film secara berbayar. Lantaran, film ini gampang dicerna dan memberikan gambaran nyata tentang korporasi media. “Ancaman dan kekerasan jurnalis juga dialami dari dalam ruang redaksi. Pemilik modal mempengaruhi ruang redaksi,” katanya.
KPI, katanya, tak bisa melakukan pengawasan sendirian tapi harus dilakukan gerakan bersama-sama dengan masyarakat. Sementara KPI melakukan pengawasan terhadap isi siaran dan regulasi secara teknis. Ancaman dan tekananan akan semakin kuat, katanya, menjelang pemilihan umum 2014 mendatang. “Ingat siaran digital 2018, masalah akan semakin kompleks,” katanya.
Frekuensi memang milik publik, maka sudah selayaknya digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan publik. Namun pada kenyataannya frekuensi yang nyata-nyata milik rakyat malah digunakan oleh segelintir kelompok untuk kepentingan bisnis dan politiknya. (source:tempo, edtr:ad)
sungguh membuat hati ini miris….pengusaha hitam sudah merasuk ke seluruh sendi kehidupan